Profile of the week
MESKIPUN belum lama menjabat sebagai Pemimpin Divisi
Human Capital, Anggoro Eko Cahyo bukanlah orang baru di PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk (BNI). Istilah baru hanya di divisi Human
Capital saja. Karena sesungguhnya, Anggoro, begitu ia disapa, dua tahun
lalu akrab dengan masalah operasional BNI sebagai pimpinan wilayah.
Mengelola masalah operasional, Anggoro familiar dengan perencanaan
program-program BNI seperti strategi penjualan kartu kredit,
hadiah-hadiah tahapan, dan program penjualan lainnya.
Menjabat sebagai Pemimpin Divisi Human Capital, pada dasarnya Anggoro tidak memiliki
background
pendidikan formal yang berhubungan dengan posisi tersebut. Ya, ia
adalah sarjana Teknik & Manajemen Industri, Institut Teknologi
Indonesia dan meraih gelar S2 di Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.
Latar belakang inilah yang membuat dia masuk ke BNI melalui jalur
operational department.
Mengenai kompetensi di bidang HR, Anggoro mengaku mendapatkan ilmu
dengan belajar secara otodidak dan berdasarkan pengalamannya selama
menjabat sebagai pimpinan wilayah.
“Ketika masuk sebagai pimpinan wilayah pun sebenarnya saya sudah berhubungan dengan
people. Dan
common sense saya adalah apabila seseorang tidak bisa mencapai target, berarti orang itu perlu di-
equip. Sesimpel itu saja,” ungkap Anggoro.
Oleh karena itulah, ketika harus berhadapan dengan
managing people,
ia langsung melihat kepada gap kompetensi apa yang ada pada mereka dan
training apa yang tepat untuk meningkatkan kompetensi tersebut.
Ketika ditunjuk menjadi Pemimpin Divisi Human Capital, sebetulnya
masih terbersit di pikiran Anggoro mengapa ia yang ditunjuk, padahal
pengalaman di bidang HR belum ada. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada
dewan komisaris dan direksi, ia pun mendapat jawaban yang memantapkan
keputusannya.
Menurut para penunjuk tersebut, Anggoro telah terlibat lama dalam
managing people.
Sebagai pimpinan wilayah, ia telah membawahi sekitar 700 karyawan
karena satu wilayah terdiri dari tujuh cabang dan kantor pelayanan
mencapai 80 buah (tiap kantor 5-10 karyawan). Dan lagi, setelah memimpin
wilayah, ia juga sempat digeser ke atas menjadi pimpinan jaringan dan
pelayanan. Itu artinya, sudah 2/3 jumlah karyawan ia tangani.
Terlebih lagi para dewan penunjuk juga meyakinkan Anggoro bahwa dalam mengelola sumber daya manusia, 75% adalah
art dan sisanya adalah
skill. Jika memang
skill
tersebut belum dikuasai, maka ia hanya perlu belajar 25% saja. Dan
pernyataan terakhir tersebut, senada betul dengan pemikiran Anggoro,
itulah kenapa akhirnya ia menjadi sangat yakin dengan posisi barunya
tersebut.
Bagi Anggoro, sentuhan
art memang sangat diperlukan dalam
mengelola sumber daya manusia. Setidaknya, itulah salah satu yang ia
dapatkan dari pengalamannya mengatur bawahannya di tingkat wilayah
maupun jaringan.
Karena dalam satu unit, orang bisa jadi sudah berinteraksi lama, tapi dalam interaksi tersebut, belum terbangun
trust.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut Anggoro, hal tersebut bisa
saja terjadi karena pemberian penugasan yang tidak menghasilkan
trickle down effect, komunikasi yang tidak lancar atau berjalan tidak
smooth.
Intinya, menjadi pimpinan di bidang SDM haruslah memiliki kesabaran
dan ketelatenan untuk mendengarkan, dan tidak terburu-buru mendiagnosis
jika terjadi masalah. Salah satu contoh konkrit adalah berangkat dari
pengalamannya ketika ia menjalankan tugasnya di wilayah maupun jaringan.
Sebelum dilakukan pemecahan, wilayah BSD masih bergabung dengan Jakarta
Kota, sehingga jangkauan wilayah tersebut sangatlah luas.
Logikanya, semakin besar jangkauan wilayah, semakin sulit melakukan
kontrol dan menjalankan seluruh program secara optimal. Hal inilah yang
justru akan memicu buruknya
performance di setiap wilayah. Dari
jawaban para kepala cabang yang sangat normatif, akar permasalahan
sebenarnya menjadi sulit digali. Untuk itulah, diperlukan
skill mendengarkan tersebut sebelum mendiagnosis.
Rupanya pemekaran tidak disetujui para ketua cabang karena masing-masing wilayah takut kehilangan
power.
Padahal seharusnya, hasil optimal adalah dari wilayah kecil yang
diupayakan secara optimal pula untuk mendapatkan output sesuai atau
bahkan melebihi ekspektasi. Untuk itulah, akhirnya Anggoro melakukan
pendekatan melalui
achievement. “Lebih baik wilayah kecil tetapi output besar ketimbang wilayahnya besar, tetapi justru outputnya kecil,” jelasnya.
BNI sendiri, tutur Anggoro, tahun ini sedang dalam masa peningkatan
kapasitas karyawan. Diprogramkan demikian karena setelah beberapa tahun
sempat mengalami
zero growth, terjadi adanya gap dalam susunan
karyawan BNI. Terlebih lagi karena setelah bisnisnya semakin bertumbuh
dan BNI merekrut karyawan-karyawan baru. Untuk menghilangkan
gap tersebut, maka diperlukan akselerasi pada karyawan lama level bawah.
Proses akselerasi karyawan di BNI, yang paling mendasar adalah bagaimana peran dari seorang
leader untuk membimbing dan menjadi mentor bagi bawahannya. Setiap
leader harus mampu menciptakan
engagement bawahannya. Dan itu masuk dalam
performance evaluation
di BNI. Program nyata yang sedang dikerjakan BNI adalah dengan
mengadakan training yang dinamakan Leadership Development Program bagi
VP dan EVP (LDP 100). LDP 100 menyasar pada 100 VP dan EVP terbaik di
BNI untuk kemudian diberikan
training beberapa bulan, dengan salah satu agendanya adalah menyusun sebuah
project dalam kelompok yang nantinya akan menjadi
prototype untuk selanjutnya dievaluasi dan dieksekusi menjadi sebuah program peningkatan
sales dari produk BNI.
Lalu apakah sebetulnya
objective atau tujuan dari program ini? Anggoro menjelaskan yang utama adalah untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang mampu men-
develop anak buahnya. Disadari benar oleh BNI bahwa,
engagement dan loyalitas dari karyawan sangat dipengaruhi oleh bisa atau tidaknya seorang pemimpin men-develop mereka.
Hal lain yang menjadi
concern bagi Anggoro saat ini adalah
HR business partner.
Salah satu contoh implementasinya adalah bahwa HR departemen akan
terlibat secara proaktif dalam proses rekrutmen di seluruh departemen di
BNI. Departemen rekrutmen akan terlibat dengan rapat unit sales atau
unit lainnya untuk lebih mengetahui bagaimana kondisi medan departemen
yang sedang membutuhkan karyawan baru. Kemudian setelah mengerti
kebutuhan departemen tersebut, proses rekrutmen segera dilaksanakan
sesuai prosedur oleh departemen rekrutmen.
Anggoro mengakui, sebagaimana perusahaan BUMN lainnya, maka budaya
birokrasi lama memang masih terasa. Masih banyak bawahan yang segan
terhadap atasannya yang terkadang justru menimbulkan dampak negatif
seperti ketakutan menyampaikan pendapat.
“Fakta ini tidak dapat dilihat semata-mata dari kesalahan bawahan.
Keengganan mengemukakan saran ataupun kritik bagi atasan tersebut dipicu
oleh ketidakpiawaian si pemimpin menciptakan
space dan memberikan tantangan kepada bawahannya. Nah, itulah perlunya kemudian seluruh
leader
di BNI untuk menjadi dekat dan mau mendengar aspirasi dari para
bawahannya. Salah satu bentuk nyata mungkin dengan memberikan nomor
kontak, baik itu nomor ponsel, email maupun pin
blackberry bila perlu,” ujarnya. (*/triw) Sumber: http://www.portalhr.com)
Profile of the week
MESKIPUN belum lama menjabat sebagai Pemimpin Divisi
Human Capital, Anggoro Eko Cahyo bukanlah orang baru di PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk (BNI). Istilah baru hanya di divisi Human
Capital saja. Karena sesungguhnya, Anggoro, begitu ia disapa, dua tahun
lalu akrab dengan masalah operasional BNI sebagai pimpinan wilayah.
Mengelola masalah operasional, Anggoro familiar dengan perencanaan
program-program BNI seperti strategi penjualan kartu kredit,
hadiah-hadiah tahapan, dan program penjualan lainnya.
Menjabat sebagai Pemimpin Divisi Human Capital, pada dasarnya Anggoro tidak memiliki
background
pendidikan formal yang berhubungan dengan posisi tersebut. Ya, ia
adalah sarjana Teknik & Manajemen Industri, Institut Teknologi
Indonesia dan meraih gelar S2 di Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.
Latar belakang inilah yang membuat dia masuk ke BNI melalui jalur
operational department.
Mengenai kompetensi di bidang HR, Anggoro mengaku mendapatkan ilmu
dengan belajar secara otodidak dan berdasarkan pengalamannya selama
menjabat sebagai pimpinan wilayah.
“Ketika masuk sebagai pimpinan wilayah pun sebenarnya saya sudah berhubungan dengan
people. Dan
common sense saya adalah apabila seseorang tidak bisa mencapai target, berarti orang itu perlu di-
equip. Sesimpel itu saja,” ungkap Anggoro.
Oleh karena itulah, ketika harus berhadapan dengan
managing people,
ia langsung melihat kepada gap kompetensi apa yang ada pada mereka dan
training apa yang tepat untuk meningkatkan kompetensi tersebut.
Ketika ditunjuk menjadi Pemimpin Divisi Human Capital, sebetulnya
masih terbersit di pikiran Anggoro mengapa ia yang ditunjuk, padahal
pengalaman di bidang HR belum ada. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada
dewan komisaris dan direksi, ia pun mendapat jawaban yang memantapkan
keputusannya.
Menurut para penunjuk tersebut, Anggoro telah terlibat lama dalam
managing people.
Sebagai pimpinan wilayah, ia telah membawahi sekitar 700 karyawan
karena satu wilayah terdiri dari tujuh cabang dan kantor pelayanan
mencapai 80 buah (tiap kantor 5-10 karyawan). Dan lagi, setelah memimpin
wilayah, ia juga sempat digeser ke atas menjadi pimpinan jaringan dan
pelayanan. Itu artinya, sudah 2/3 jumlah karyawan ia tangani.
Terlebih lagi para dewan penunjuk juga meyakinkan Anggoro bahwa dalam mengelola sumber daya manusia, 75% adalah
art dan sisanya adalah
skill. Jika memang
skill
tersebut belum dikuasai, maka ia hanya perlu belajar 25% saja. Dan
pernyataan terakhir tersebut, senada betul dengan pemikiran Anggoro,
itulah kenapa akhirnya ia menjadi sangat yakin dengan posisi barunya
tersebut.
Bagi Anggoro, sentuhan
art memang sangat diperlukan dalam
mengelola sumber daya manusia. Setidaknya, itulah salah satu yang ia
dapatkan dari pengalamannya mengatur bawahannya di tingkat wilayah
maupun jaringan.
Karena dalam satu unit, orang bisa jadi sudah berinteraksi lama, tapi dalam interaksi tersebut, belum terbangun
trust.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut Anggoro, hal tersebut bisa
saja terjadi karena pemberian penugasan yang tidak menghasilkan
trickle down effect, komunikasi yang tidak lancar atau berjalan tidak
smooth.
Intinya, menjadi pimpinan di bidang SDM haruslah memiliki kesabaran
dan ketelatenan untuk mendengarkan, dan tidak terburu-buru mendiagnosis
jika terjadi masalah. Salah satu contoh konkrit adalah berangkat dari
pengalamannya ketika ia menjalankan tugasnya di wilayah maupun jaringan.
Sebelum dilakukan pemecahan, wilayah BSD masih bergabung dengan Jakarta
Kota, sehingga jangkauan wilayah tersebut sangatlah luas.
Logikanya, semakin besar jangkauan wilayah, semakin sulit melakukan
kontrol dan menjalankan seluruh program secara optimal. Hal inilah yang
justru akan memicu buruknya
performance di setiap wilayah. Dari
jawaban para kepala cabang yang sangat normatif, akar permasalahan
sebenarnya menjadi sulit digali. Untuk itulah, diperlukan
skill mendengarkan tersebut sebelum mendiagnosis.
Rupanya pemekaran tidak disetujui para ketua cabang karena masing-masing wilayah takut kehilangan
power.
Padahal seharusnya, hasil optimal adalah dari wilayah kecil yang
diupayakan secara optimal pula untuk mendapatkan output sesuai atau
bahkan melebihi ekspektasi. Untuk itulah, akhirnya Anggoro melakukan
pendekatan melalui
achievement. “Lebih baik wilayah kecil tetapi output besar ketimbang wilayahnya besar, tetapi justru outputnya kecil,” jelasnya.
BNI sendiri, tutur Anggoro, tahun ini sedang dalam masa peningkatan
kapasitas karyawan. Diprogramkan demikian karena setelah beberapa tahun
sempat mengalami
zero growth, terjadi adanya gap dalam susunan
karyawan BNI. Terlebih lagi karena setelah bisnisnya semakin bertumbuh
dan BNI merekrut karyawan-karyawan baru. Untuk menghilangkan
gap tersebut, maka diperlukan akselerasi pada karyawan lama level bawah.
Proses akselerasi karyawan di BNI, yang paling mendasar adalah bagaimana peran dari seorang
leader untuk membimbing dan menjadi mentor bagi bawahannya. Setiap
leader harus mampu menciptakan
engagement bawahannya. Dan itu masuk dalam
performance evaluation
di BNI. Program nyata yang sedang dikerjakan BNI adalah dengan
mengadakan training yang dinamakan Leadership Development Program bagi
VP dan EVP (LDP 100). LDP 100 menyasar pada 100 VP dan EVP terbaik di
BNI untuk kemudian diberikan
training beberapa bulan, dengan salah satu agendanya adalah menyusun sebuah
project dalam kelompok yang nantinya akan menjadi
prototype untuk selanjutnya dievaluasi dan dieksekusi menjadi sebuah program peningkatan
sales dari produk BNI.
Lalu apakah sebetulnya
objective atau tujuan dari program ini? Anggoro menjelaskan yang utama adalah untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang mampu men-
develop anak buahnya. Disadari benar oleh BNI bahwa,
engagement dan loyalitas dari karyawan sangat dipengaruhi oleh bisa atau tidaknya seorang pemimpin men-develop mereka.
Hal lain yang menjadi
concern bagi Anggoro saat ini adalah
HR business partner.
Salah satu contoh implementasinya adalah bahwa HR departemen akan
terlibat secara proaktif dalam proses rekrutmen di seluruh departemen di
BNI. Departemen rekrutmen akan terlibat dengan rapat unit sales atau
unit lainnya untuk lebih mengetahui bagaimana kondisi medan departemen
yang sedang membutuhkan karyawan baru. Kemudian setelah mengerti
kebutuhan departemen tersebut, proses rekrutmen segera dilaksanakan
sesuai prosedur oleh departemen rekrutmen.
Anggoro mengakui, sebagaimana perusahaan BUMN lainnya, maka budaya
birokrasi lama memang masih terasa. Masih banyak bawahan yang segan
terhadap atasannya yang terkadang justru menimbulkan dampak negatif
seperti ketakutan menyampaikan pendapat.
“Fakta ini tidak dapat dilihat semata-mata dari kesalahan bawahan.
Keengganan mengemukakan saran ataupun kritik bagi atasan tersebut dipicu
oleh ketidakpiawaian si pemimpin menciptakan
space dan memberikan tantangan kepada bawahannya. Nah, itulah perlunya kemudian seluruh
leader
di BNI untuk menjadi dekat dan mau mendengar aspirasi dari para
bawahannya. Salah satu bentuk nyata mungkin dengan memberikan nomor
kontak, baik itu nomor ponsel, email maupun pin
blackberry bila perlu,” ujarnya. (*/triw) Sumber: http://www.portalhr.com)